.jpg)
Adanya kebijakan Tariff Presiden Trump, adanya gempa bumi di Myanmar dan perubahan kondisi makro ekonomi mengharuskan untuk selalu melakukan kaji ulang atas konteks organisasi, khususnya konteks eksternal yang tidak dapat kita kendalikan. Itulah sebabnya mengapa memahami konteks organisasi menjadi klausul wajib pertama yang menjadi persyaratan sertifikasi internasional yang ada (Clause 4) di beberapa sertifikasi ISO, termasuk ISO 22301:2019 terkait dengan implementasi Business Continuity Management Systems (BCMS).
BCMS sebagai bagian dari system manajemen organisasi juga harus senantiasa berkembang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan organisasi, sehingga diperlukan adanya cetak biru (blue print) dan peta jalan (roadmap) yang selalu dimointor pencapaiannya dari waktu ke waktu. Diperlukan adanya kesadaran dan budaya sebagai kata kunci agar BCMS dapat berkembang dengan baik di suatu organisasi. BCMS bukan hanya terkait dengan operational sustainability, namun juga terkait dengan business sustainability. Apa yang akan organisasi lakukan ketika terjadi kondisi yang “tidak menguntungkan” bagi Perusahaan seharusnya sudah dipersiapkan dengan berbagai strategi yang sudah di uji dalam bentuk dokumen Business Continuity Plan (BC Plan).
Dalam implementasinya, BCMS akan berbeda antar-industri atay bahkan antar-Perusahaan. Sebagai contohnya pada perusahaan manufaktur, strategi berpindah ke lokasi alternatif tidak dapat dilakukan, karena peralatan pendukung seperti mesin produksi tidak dapat secara cepat dipindahkan. Di industry perbankan diperlukan adanya respon yang cepat karena memiliki target waktu pemulihan (MAO) yang cepat, jika dibandingkan Perusahaan asuransi yang masih memiliki waktu untuk “bernafas”. Demikian pula penyampaian kewajiban pelaporan ke regulator (aspek kepatuhan) yang berbeda di setiap industri.
Adanya perubahan konteks ekternal menyebabkan Perusahaan harus mengukur kembali dampaknya terhadap bisnisnya (dengan proses Business Impact Analysis/BIA), mengidentifikasi risikonya (dengan proses Risk Assessment) dan menyiapkan Business Continuity Strategy-nya (BC Strategy-nya) sebagai dasar penyusunan BC Plan-nya. Tentunya prosesnya dilakukan secara berbeda setiap industri.
Di Indonesia yang memiliki ragam gangguan dan bencana (dapat merefer pada Undang-Undang No. 24 Tahun 2007) belum memiliki panduan implementasi BCMS yang detail, seperti yang dimiliki oleh beberapa Regulator di negara-negara tetangga yang mengatur lebih detail terkait dengan implementasi BCMS. Kendala lainnya jika menggunakan standard internasonal, terdapat lebih dari standard ISO terkait dengan Security and Resilience, mulai dari ISO 22300:2021, ISO 22301:2019. ISO 22313:2020 dan seterusnya dengan biaya yang mahal. Kondisi inilah yang berpotensi menimbulkan pemahaman yang tidak seragam sehingga menyebabkan BCMS yang telah disusun, saat kondisi darurat tidak dapat digunakan, dan berdampak kerugian finansial dan non-finansial yang signifikan.
Mudah-mudahan dengan tulisan yang singkat ini dapat menyadarkan kita untuk segera merespon dan mempersiapkan strategi-strategi BCMS yang tepat yang akan dijalankan saat terjadi perubahan konteks eksternal yang mengancam bisnis dan operasional organisasi kita. #bencanadatangkitasiap
Artikel ini dan artikel lainnya dapat dilihat di website BCM Indonesia